oleh

Situs Sumberbeji, Petirtaan Megah Peninggalan Majapahit Abad ke-14

JOMBANG-ANTERO-Gambaran kecanggihan teknologi arsitektur Petirtaan Sumberbeji, situs cagar budaya di Kabupaten Jombang, Jawa Timur menampilkan seni yang luar biasa dimasanya.

Melalui saluran di sisi barat, air jernih dari sumber mata air alami terus mengalir tanpa henti.

Keberadaan Arca Garuda atau garudeya yang menempel di dinding barat, tak pelak memunculkan kesan sakral di area petirtaan.

Debit air yang konstan membuat kolam air kuno itu tak akan kekeringan, meski dilanda kemarau.

Tak heran, selama berpuluh-puluh tahun, petani setempat memanfaatkan air dari petirtaan untuk mengairi sawah.

Lokasi Petirtaan Sumberbeji

Petirtaan Sumberbeji berada di Dusun Sumberbeji, Desa Kesamben, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

Lokasinya berada di tengah area persawahan, di dekat perbatasan antara Desa Kesamben dengan Desa Badang, Kecamatan Ngoro.

Tempat itu, dulunya adalah sebuah lahan yang ditumbuhi aneka pohon berusia tua, puluhan hingga ratusan tahun.

Lahan seluas 2.800 meter persegi itu sebelumnya menjadi tempat yang dikeramatkan dan jarang ada orang yang berani masuk ke dalam.

Di bagian timur lahan tanah kas desa tersebut terdapat sebuah sendang. Di dasar sendang pada kedalaman dua hingga tiga meter itulah, tempat ditemukan struktur petirtaan.

Bentuk petirtaan

Hasil ekskavasi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur, selama 4 periode sejak 2019 hingga Agustus 2021, berhasil menyingkap bentuk Petirtaan Sumberbeji.

Petirtaan kuno dengan struktur bata merah itu memiliki bentuk persegi berukuran 20 x 17 meter persegi.

Di tengahnya terdapat bangunan persegi yang diinterpretasikan sebagai batur.

Di sisi barat, terdapat kanal sepanjang 14 meter yang berfungsi sebagai saluran untuk masuknya air ke dalam petirtaan.

Kemudian kanal yang berfungsi sebagai saluran buang, berada di sisi timur laut.

Di area dalam petirtaan sisi barat daya, terdapat arca garuda. Arca dari batu andesit itu menempel di dinding menghadap ke timur.

Letaknya berada antara kanal yang menjadi saluran masuknya air ke petirtaan dengan dinding selatan.

Secara keseluruhan, struktur dinding bangunan petirtaan kuno di Sumberbeji tersusun dari bata merah, didominasi komponen bata era Majapahit.

Kemudian, lantai petirtaan terbuat dari bata merah pada. Lantainya berada pada kedalaman dua meter dari batas atas struktur dinding.

Arkeolog BPCB Jawa Timur Wicaksono Dwi Nugroho mengungkapkan, selama ekskavasi dari tahap 1 hingga tahap 4, ditemukan 14 Arca Jaladwara.

BACA JUGA :  Hukum Perdamaian Internasional Penghentian Perang Diperlukan Untuk Hentikan Perang Dipenjuru Dunia

Selain itu, ditemukan pula berbagai jenis artefak atau benda purbakala dari Tiongkok pada masa dinasti Song abad ke-11, serta dari masa dinasti Yuan, abad ke-13 hingga ke-14.

Dari berbagai macam temuan, termasuk uang kepeng dari Cina, lebih banyak didominasi dari masa dinasti Yuan.

Konstruksi Petirtaan Sumberbeji memiliki sedikit kemiripan dengan Candi Tikus di Trowulan, Kabupaten Mojokerto.

Sama-sama terstruktur dari bata merah, berbentuk persegi dan ditengahnya terdapat struktur bangunan, serta berada di bawah permukaan tanah.

Namun, jaladwara yang ditemukan di Petirtaan Sumberbeji selama ekskavasi, bentuk dan ukurannya lebih beragam.

“Kalau di Candi Tikus, jaladwara yang ditemukan seragam, berbeda dengan yang di Sumberbeji,” ujar Wicaksono, di Jombang, Sabtu (28/8/2021).

Interpretasi fungsi

Petirtaan Sumberbeji diinterpretasikan sebagai bangunan suci untuk pemujaan sesuai dengan konsep Samudera Mantana.

Konsepsi itu dikenal dalam kebudayaan Hindu, yang menguraikan upaya para dewa menemukan Tirta Amerta atau air suci.

Wicaksono menuturkan, interpretasi tersebut berdasarkan keberadaan Batur di tengah petirtaan.

Batur di tengah-tengah Petirtaan Sumberbeji, dulunya diyakini terdapat menara sebagai perumpamaan dari Gunung Mahameru dikelilingi samudera.

Interpretasi itu diperkuat dengan keberadaan Arca Garuda di dinding barat petirtaan.

“Bukti untuk ini juga kita temukan, yakni adanya patung Garuda, yang dalam konsep Samudera Mantana erat kaitannya dengan samudera, sebagai pencarian air suci atau Amerta,” jelas Wicaksono.

Sebelum Hayam Wuruk

Struktur bata penyusun bangunan Petirtaan Sumberbeji didominasi dimensi ukuran bata pada masa Majapahit.

Namun, menurut Wicaksono, dalam naskah kuno Negarakertagama, sama sekali tidak ditemukan ulasan Mpu Prapanca terkait Petirtaan Sumberbeji, baik ciri atau penyebutan daerah.

Padahal dalam Negarakertagama, Prapanca menceritakan kalau Hayam Wuruk pernah melakukan kunjungan ke wilayah Kediri dan sekitarnya.

Negarakertagama sebagai rujukan sejarawan dan arkeolog mengulas Majapahit, ditulis Prapanca semasa Hayam Wuruk menjadi raja Majapahit.

Dari ekskavasi selama empat kali sejak 2019, ditemukan struktur bata yang didominasi oleh bata merah dengan dimensi ukuran era Majapahit.

Selama ekskavasi, tim ekskavasi menemukan 14 jaladwara dalam bentuk dan ukuran yang beragam, tidak seperti jaladwara di Candi Tikus maupun petirtaan lainnya di Jawa Timur.

Artefak dari Cina juga banyak ditemukan mulai dari masa dinasti Song hingga artefak pada masa dinasti Yuan.

Fragmen keramik maupun uang kepeng dari Cina, didominasi peninggalan dari masa dinasti Yuan, abad ke-14.

BACA JUGA :  Prana Putra Sohe : Yang Ditertibkan Kerumunanya Bukan Pedagangya

Berangkat dari temuan-temuan arkeologis selama ekskavasi, arkeolog memunculkan hipotesis Petirtaan Sumberbeji dibangun sebelum Hayam Wuruk memimpin Majapahit.

Wicaksono menjelaskan, Petirtaan Sumberbeji  kemungkinan dibangun pada masa Tribhuwana Tunggadewi, pada abad ke-14 Masehi.

“Interpretasi sementara, Petirtaan Sumberbeji ini dibangun pada masa Majapahit, abad ke-14,” masa sebelum Hayam Wuruk,” ulas Wicaksono.

Kemungkinan berikutnya, ungkap Wicaksono, petirtaan kuno nan megah itu dibangun sebelum masa Majapahit, pada abad ke-13 atau ke-12 Masehi.

Namun semasa Majapahit berkuasa, petirtaan suci itu tetap digunakan dan direnovasi oleh raja yang saat itu memimpin Majapahit.

“Kemungkinan juga sudah ada sebelum Majapahit dan kita duga sudah dilakukan pemugaran atau perbaikan-perbaikan sesuai fungsi. Terbukti dari 14 jaladwara, semuanya tidak sama,” beber Wicaksono. 

Terkubur karena bencana

Ketiadaan Petirtaan Sumberbeji dalam catatan Negarakertagama, karena bangunan itu terkubur oleh material tanah berpasir akibat letusan Gunung Kelud.

Hipotesis itu dimunculkan arkeolog mengacu pada sejarah bahwa erupsi Gunung Kelud pernah melanda Majapahit.

Letusan dahsyat itu terjadi saat Tribhuwana Tunggadewi memimpin Majapahit, bersamaan dengan kelahiran Hayam Wuruk.

Dampak erupsi itu mengubur sebagian wilayah Kerajaan Majapahit, termasuk bangunan-bangunan penting di masa itu.

Menurut Wicaksono, analisis itu diperkuat dengan kondisi tanah di wilayah Kabupaten Jombang, terutama di kawasan penemuan benda-benda purbakala, memiliki material yang sama.

Di beberapa situs purbakala yang ditemukan di Jombang, di dalam tanah, hampir seluruhnya terdiri dari material tanah berpasir, kerikil dan kerakal dari lahar gunung.

Diantara acuan Wicaksono, yakni Situs Sugihwaras, Situs Kedaton, serta Situs Jeruk Wangi di Kecamatan Ngoro.

“Kita perkirakan bencana besar itu terjadi pada tahun 1.300 masehi, sebelum Hayam Wuruk. Karena terkubur di dalam tanah, jadi wajar kalau Petirtaan Sumberbeji ini tidak ada dalam catatan Negarakertagama,” ujar Wicaksono.

Sejarah penemuan

Petirtaan Sumberbeji ditemukan di dasar sendang, di Dusun Sumberbeji, Desa Kesamben, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang.

Penemuan berawal saat petani dan sekelompok pemuda setempat membersihkan sampah dan lumpur di dasar sendang, Minggu (26/6/2019).

Sendang di lahan tanah kas Desa Kesamben itu sebelumnya menjadi sumber mandiri untuk pengairan sawah melalui saluran irigasi tersier.

Ditengah aktivitas membersihkan sampah dan lumpur di dasar sendang, warga menemukan struktur bata kuno, memanjang dengan orientasi barat ke timur, mirip sebuah saluran air atau kanal.

Lokasi penemuan Petirtaan Sumberbeji, sebelumnya merupakan tempat yang dikeramatkan oleh warga sekitar.

BACA JUGA :  Dugaan Korupsi Proyek Penimbunan dan Turap Rugikan 5 Milyar Uang Negara

Penemuan struktur bata kuno di lahan seluas 2.800 meter persegi itu kemudian direspon BPCB Jawa Timur dengan melakukan ekskavasi tahap 1 dan 2 pada 2019.

Ekskavasi kemudian dilanjutkan pada 2020. Selanjutnya, ekskavasi tahap 4 dilakukan BPCB pada 19 – 28 Agustus 2021.

Pelestarian dan pemanfaatan

Menurut Kepala BPCB Jawa Timur Zakaria Kusimin, ekskavasi tahap 4 kali ini berhasil menyingkap hampir keseluruhan bagian petirtaan.

Meskipun demikian, pada ekskavasi tahap 4 belum ditemukan artefak baru yang bisa menjadi bukti tambahan untuk menetapkan interpretasi utuh terhadap fungsi dan narasi sejarah dari situs.

“Secara struktur bangunan, kita sudah menemukan bentuk. Bisa dikatakan ini sudah 90 persen dan kita sudah mengetahui seperti apa bentuknya,” kata Zakaria.

Tahap selanjutnya, BPCB Jawa Timur akan melakukan ekskavasi tahap akhir hingga merencanakan pemugaran, sebagai bagian dari upaya pelestarian situs.

“Selanjutnya kami masih punya program (ekskavasi) sekali lagi, setelah itu fokus pada penanganan obyeknya, yaitu pemugaran,” ujar Zakaria.

Pada 2021, Petirtaan Sumberbeji telah ditetapkan sebagai benda cagar budaya peringkat Provinsi Jawa Timur.

Kepala Bidang Cagar Budaya dan Sejarah, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur, Dwi Supranto mengatakan, penetapan Petirtaan Sumberbeji sebagai cagar budaya peringkat propinsi, memberikan keleluasaan Pemprov Jatim untuk berpartisipasi dalam pelestarian dan pengembangan situs.

Pada sisi teknis, pihaknya siap berkolaborasi dengan BPCB Jawa Timur dan memfasilitasi berbagai upaya pelestarian dan pengembangan Petirtaan Sumberbeji.

Selain mendukung upaya pelestarian dalam bentuk pembiayaan selama ekskavasi, Pemprov Jatim juga mendorong pemanfaatan Petirtaan Sumberbeji.

Sinergi langkah antara Pemprov Jatim, BPCB Jatim, serta Pemkab Jombang dan Desa Kesamben, diharapkan bisa segera mewujudkan harapan pemanfaatan situs sebagai destinasi wisata, beriringan dengan langkah-langkah pelestarian.

“Ke depan kita ingin mengembangkan potensi Sumberbeji, sekaligus memanfaatkannya untuk destinasi wisata,” kata Dwi saat berkunjung ke Petirtaan Sumberbeji, Sabtu (28/8/2021).

Kepala Desa Kesamben WS Yudha berharap, Petirtaan Sumberbeji yang kini sudah menjadi kawasan cagar budaya tingkat provinsi, tidak mempengaruhi ketersediaan air irigasi bagi lahan pertanian di desanya.

Selama ini, jelas dia, air yang mengalir dari sendang Sumberbeji melalui saluran irigasi tersier, dimanfaatkan para petani untuk mengairi sawah hingga 30 hektar.

Yudha menuturkan, pihaknya juga sedang berupaya agar Petirtaan Sumberbeji menjadi kawasan destinasi wisata yang dikelola Pemerintah Desa Kesamben.(*)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *