JAKARTA-ANTERO–Wakil Ketua Komisi IIIDPR Ahmad Sahroni mempertanyakan sikap pemerintah yang menunjuk eks terpidana kasus korupsi Emir Moeis sebagai Komisaris PT Pupuk Iskandar Muda anak perusahaan BUMN PT Pupuk Indonesia.
Ia mengaku, kecewa dengan penunjukkan Emir sebagai komisaris perusahaan pelat merah karena. Sebab, ia menilai, hal itu tidak menunjukkan komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
“Rakyat di manapun juga pasti terluka nuraninya melihat mantan koruptor kok bisa jadi orang penting di BUMN? Komitmen pemberantasan korupsinya mana?” kata Sahroni dalam keterangan tertulis, Jumat (6/8/2021).
Ia juga menilai keputusan itu berlawanan dengan prinsip good corporate governance di perusahaan dan mencederai nilai integritas yang semestinya jadi prinsip utama di BUMN.
Politikus Partai Nasdem itu pun meminta Menteri BUMN Erick Thohir untuk mempertimbangkan kembali keputusan tersebut dan mencari sosok lain yang lebih berkompeten untuk menduduki jabatan komisaris.
“Saya rasa masih banyak orang yang berkualitas, memiliki kemampuan, dan berintegritas untuk dijadikan seorang komisaris tanpa harus memiliki track record sebagai napi korupsi,” ujar Sahroni.
Sahroni menambahkan, seorang mantan terpidana korupsi semestinya tidak diberikan kesempatan untuk menjadi pejabat BUMN. Sebab, hal itu membuat kinerja aparat penegak hukum terkesan tak memiliki efek.
“Prinsip penegakkan hukum itu salah satunya adalah memberikan efek jera. Jika sudah jadi napi saja masih bisa dapat jabatan, di mana letak efek jeranya?,” kata Sahroni.
Sebelumnya, mantan narapidana kasus korupsi Izedrik Emir Moeis diangkat menjadi salah satu komisaris di PT Pupuk Iskandar Muda (PIM).
Perusahaan tersebut merupakan anak usaha PT Pupuk Indonesia (Persero). PT Pupuk Indonesia sendiri adalah perusahaan BUMN.
Mengutip laman resmi perusahaan, Emir Moeis diangkat menjadi komisaris sejak 18 Februari 2021 lalu. Dia ditunjuk sebagai komisaris oleh para pemegang saham PT PIM.
Adapun Emir dijatuhi hukuman tiga tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Kourpsi pada 2014 karena terlibat dalam kasus suap proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Tarahan, Lampung, tahun 2004.
Hakim menilai Emir yang saat itu menjadi anggota Komisi VIII DPR saat itu terbukti menerima USD 357.000 dari PT Alstom Power Incorporated Amerika Serikat dan Marubeni Incorporate Jepang melalui Presiden Pacific Resources Inc. Pirooz Muhammad Sarafi.(*)
Komentar